Wacana Pembelajaran Tatap Muka (PTM) Di Masa Pandemi Sebuah Pro Dan Kontra
Terjadinya Pandemi Covid-19 sejak bulan Desember 2019 di Wuhan, Tiongkok, selain berdampak pada kegiatan sektor ekonomi dirasakan juga oleh dunia pendidikan. Upaya pencegahan penyebaarn covid-19 di dunia pendidikan dilakukan didasarkan pada surat edaran No.1 tahun 2020 oleh Kemdikbud yang mengintruksikan untuk menyelenggarakan pembelajaran jarak jauh dan belajar dari rumah masing-masing yang dikenal dengan pembelajaran daring.Dengan pembelajaran daring pelajar dan mahasiswa secara mandiri dan aktif mengikuti update informasi tentang mata pelajaran/mata kuliah, tugas/quis dengan teknis sesuai kebijakan guru/dosen masing-masing. Pada mulanya pembelajaran secara online menjadi pengalaman baru yang mengubah gaya mengajar klasikal. Inovasi bidang pendidikan ini menjawab tantangan perkembangan tekonologi dan informasi yang semakin berkembang maju dan bervariatif. Pelajar/mahasiswa dapat mengatur sendiri waktu belajar dan melatih kemandirian dalam menyelesaikan tugas-tugas.
Terdapat sisi positif dan sisi negatif yang saling beriringan dengan adanya pembelajaran jarak jauh (PJJ). Meskipun PJJ mendorong pelajar/mahasiswa untuk bisa dengan mudah berinovasi dan berkreasi mengeksplorasi pengetahuan, akan tetapi pelajar dan mahasiswa butuh bertatap muka langsung dengan guru/dosen. Mereka perlu kerja sama, merindukan interaksi dengan temannya secara langsung. Pendapat beberapa ahli dan pemerhati sosial menilai kebijakan pembelajaran tatap muka (PTM) mendesak untuk segera dilakukan. Hal ini guna menghindari anak Indonesia dari kehilangan kemampuan dan pengalaman belajar (learning loss). Learning loss berdampak pada risiko kemampuan intelektual dan psikologis anak yang kritis, penurunan capaian belajar, dan banyak terjadi kasus anak putus sekolah selama masa PJJ.
Saat terjadi penurunan angka positif covid-19, pemerintah melalui Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbud Ristek) mendorong penyelenggaraan pembelajaran tatap muka (PTM) terbatas sesuai kesiapan sekolah dan kondisi daerah di wilayah PPKM level 1-3. Wacana ini memunculkan respon beragam dan dilema bagi orangtua, ada yang pro mauapun kontra yang menganggap kebijakan ini tidak populer sehingga orangtua ragu dengan kebijakan PTM. Mereka menganggap anak-anak belum bisa mengontrol emosinya ketika bertemu dengan temanya di sekolah. Untuk meredam kekawatiran pemerintah harus cermat dalam menyikapi penerapan PTM. Mempercepat pemberian program vaksinasi bagi pelajar/mahasiswa sebagai cara untuk mengantisipasi penularan covid-19 di sekolah/ perguruan tinggi. Selain pemberian vaksin komitmen pelajar/mahasiswa untuk menerapkan protokol kesehatan dengan menjaga kebersihan lewat gerakan mencuci tangan dengan sabun di air mengalir, memakai masker dan mengurangi mobilisasi berkumpul dengan teman-temannya dapat mengurangi angka penularan virus covid-19. Sekolah dan Perguruan Tinggi penyelenggara pendidikan harus mempersiapkan standar pelaksanaan PTM dengan infrastruktur yang memadahi. Bekerja sama dengan dinas kesehatan maupun pemangku kebijakan setempat untuk mempersiapkan berbagai sarana dan prasarana yang diperlukan. Budaya hidup bersih dan sehat perlu dibangun untuk menjaga kebersihan diri dan lingkungan sekitarnya. Kelas sebagai tempat belajar dengan ventilasi dan sirkulasi udara yang bagus juga dibutuhkan. Protokol kesehatan tetap harus dijalankan meskipun sudah di vaksin karena penularan bisa terjadi dimana dan kapan saja.
Kondisi keadaan diatas harus diakui menjadi dilema bagi dunia pendidikan dan dihadapkan pada pilihan sulit. Fakta menunjukkan bahwa meski angka positif covid-19 mengalami penurunan, diberbagai daerah masih banyak yang berada pada lebih 3-4. Program vaksinasi yang dilakukan kepada pelajar/mahasiswa belum menyeluruh, sehingga belum ideal untuk membuka kelas PTM. Apapun yang terjadi pemerintah telah mengeluarkan kebijakan, namun orangtua siswa ataupun mahasiswa tetap diberikan pilihan yang bijak untuk mengikuti PTM atau tidak dengan pertimbangan masing-masing. (HNS)